breath on

[juyeon x changmin] ⚠️ notes: – bxb – mature content 🔞 (kissing, blood, hickey, marking, make out) – mention of; bruises, small accident, scar


Riuh sirine mobil anggota kepolisian yang berlalu lalang di jalanan tembus ke dalam unit apartemennya. Kata sandi pintu unitnya berbunyi bersamaan dengan pudarnya bising sirine yang menjauh, pintu terbuka menampakan wujud lelaki berjaket kulit hitam dengan wajah penuh lebam. Dirinya yang sedang menikmati acara televisinya terusik dengan bau anyir yang menusuk indera penciumannya.

“Balapan lagi?” pertanyaannya mengambang tak mendapat jawaban yang membuatnya mendengus lelah. “Lee Juyeon, aku ngomong sama kamu.” decakan iritasi menjadi jawabannya, enggan untuk merespon, meski langkah kakinya mendekat dan menempatkan diri tepat di sampingnya.

Keningnya mengerut dalam, sangat terganggu dengan bebauan yang menguar dari teman seatapnya. “Bau banget.” komennya sinis, namun tetap memeriksa kondisi temannya yang terluka. “Mukamu bonyok pasti dibogem lawan, ini tanganmu luka dalem kayak gini gimana ceritanya?” cecarnya sembari mencari kotak obat yang biasa ia taruh di laci.

Juyeon mendengus, temannya satu atapnya ini terlalu mengenal dirinya hingga detil-detil kecil seperti ini pun dapat diendus dengan mudah. “Jatoh tadi ditabrak lawan pas kabur dari polisi.” jelasnya tidak lagi menutup-nutupi kejadian yang menimpanya saat balapan liar.

Gumpalan kapas bercorak merah kecoklatan membentuk gunung kecil di atas meja ruang tengah setelah selesai membersihkan luka-luka yang ada di tubuh Juyeon. Ringisan sesekali lolos dari celah bibir Juyeon saat ia menotolkan kapas beralkohol pada pelipisnya yang masih mengucurkan darah meski tidaklah deras. “Kenapa gak dijilat?” Juyeon bertanya dengan tatapan mengarah tepat pada kelereng coklatnya. Changmin tersenyum miring, “Kotor, banyak pasirnya, jorok.” tuturnya meletakan gumpalan kapas terakhir yang usai ia pakai. “Don't worry, i left one for me.” lanjutnya dengan mengusap sudut bibir Juyeon yang koyak menggunakan ibu jarinya.

Tatapan mata Juyeon tidak beralih sedikit pun, tetap memperhatikan dengan seksama bagaimana lelaki berbadan kecil di hadapannya menikmati tetesan darah miliknya dari ibu jarinya. Juyeon menahan tangan berukuran jauh lebih kecil darinya itu, hendak mendapatkan protes sebelum dirinya menarik tenguk Changmin hingga wajah mereka hanya terhalang udara tipis. “It taste better between kiss, Ji.” bisiknya dilanjutkan dengan kecupan singkat pada bibir Changmin.

Juyeon menawarkan tanpa syarat, tentu Changmin akan menerimanya dengan senang hati. Kecupan singkat beralih menjadi kecupan lamat. Keduanya berdiam beberapa saat menikmati lembabnya pertemuan bibir mereka sebelum memulai untuk melumat bibir satu sama lain —lebih tepatnya Changmin yang bergerak agresif sebab ingin mengecap manisnya darah Juyeon.

Tubuh ramping Changmin berpindah ke atas paha kokohnya dalam sekali tarikan, memperintim posisi mereka. Nafas terangah kala pagutan terlepas, hawa panas membumbung menyelimuti dua insan. Kening bersentuhan dengan tatapan menusuk satu sama lain, erangan lolos keluar begitu keduanya bergesekan. Juyeon selalu mengagumi paras kacau Changmin di atas pangkuannya, lost in lust under his control, sangat memikat.

I lost count how many times i said how pretty you are, let me show you once again, Ji Changmin.” dengan begitu Juyeon memulai panasnya afeksi diantara mereka.

Changmin lemas di bawah kuasa Juyeon, jemarinya bersarang pada helaian surai kehitaman milik lawan mainnya, sesekali menjenggutnya seirama dengan sesapan dan gigitan yang menjalar di seluruh leher panjangnya. Mulutnya terbuka hendak menjeritkan responnya, namun tidak ada satu suara pun yang keluar selain deru napasnya yang tersenggal. Juyeon menghentikan kegiatannya begitu merasakan tepukan cukup kuat pada bahunya tiga kali, matanya memicing memperhatikan wajah terselimuti napsu milik Changmin, mempertanyakan aksi lelaki kecil itu. “Wanna breath on your neck.

Tentu Juyeon mempersilakan keinginan Changmin, memberikan akses lebih untuk lelaki itu menjamah lehernya. Embusan napas Changmin menerpa permukaan kulit lehernya membuat dirinya meremang, terasa panas dan bergairah. Erangan tertahan menjadi reaski Changmin saat pinggangnya diremat kuat olehnya sebagai pelampiasan nyeri panas yang menjalar di lehernya. Darah mengalir menuruni tulang selangkanya setelah taring tajam itu terlepas dari lehernya menciptakan dua titik koyakan di sana.

Changmin mengerang, kepalanya tertunduk lemas di perpotongan leher Juyeon. Napasnya memburu menggelitik kulit, tangannya menyengkram bisep Juyeon kuat disertai desahan panjang. Pening menyerang begitu kencang, mabuk akan putih yang didapatnya berasal dari afeksi panas yang Juyeon berikan terus menerus.







Wajahnya mendusel di leher Juyeon, mengendusi aroma Juyeon yang membuatnya mabuk. Tubuhnya dengan sempurna menempel, menopang seluruh berat tubuhnya pada lelaki besar itu. Bermanja pada teman satu atapnya. “Juyeon,” panggilannya disambut dengan dehaman dari lawannya, “—masih belum mau jadi pengantin Changmin?”

Diam kembali menjadi jawaban dari pertanyaannya. Entah sudah berapa kali ia melontarkan pertanyaan itu pada lelaki berbada atletis tersebut, namun hasilnya masih sama, tidak ada jawaban. Lengan yang semula bergantung pada pundaknya kini memeluknya erat, Changmin semakin menenggelamkan wajahnya di tenguk Juyeon. Lembab, membiarkan air yang menumpuk meleleh membasahi pipinya dan juga jatuh diatas permukaan kulit Juyeon.

Changmin kembali menangis, mengingat Juyeon tidak akan pernah menganggapnya lebih dari sekedar makhluk imortal pengganggu. Itu pula yang menjadi alasan dirinya tidak mempercayai semua pujian yang diberikan Juyeon untuknya.

Seribu kali Juyeon berkata jika dirinya begitu indah, seribu kali pula hatinya tertoreh luka.

Kecupan ia daratkan pada bibir Juyeon, senyum kecil dengan berat terukir setelah ia menjauhkan wajahnya. “Terima kasih banyak, Ju.” ucapnya hendak beranjak dari pangkuan yang lebih muda —secara angka Changmin berusia lebih dari ratusan tahun. “Mau kemana?” tubuhnya tertahan atas cengkraman pada kedua sisi pinggangnya, tidak diperbolehkan untuk pergi kemanapun. “Pergi? Changmin capek, Ju.”

Badannya direngkuh dengan erat, Changmin dapat merasakan jika Juyeon menggelengkan kepalanya secara brutal di perpotongan lehernya. “Gak boleh. Maaf lama jawabnya, Juyeon mau jadi pasangan Changmin. Jangan pergi.”